Bismillah
Salatiga … apa yang terlintas dalam benak Anda tatkala mendengar namanya? Kesejukan kotanya ataukah beragam kenangan yang menjadi saksi peradaban?
Menelusuri Salatiga, memang tiada habisnya. Keanggunan dan keelokan parasnya mampu menyihir siapa saja untuk jatuh cinta. Sejauh mata memandang, Anda akan dimanjakan dengan pemandangan ke arah Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Rasanya tak berlebihan jika Salatiga mendapat julukan de Schoonste Stad van Midden Java (kota terindah di Jawa Tengah).
Kondisi geografis yang berada di dataran tinggi, belum lagi bentang alam dan suhu udara yang menyerupai iklim di Eropa, membuat Salatiga menjadi tempat favorit bangsa kulit putih Hindia Belanda untuk menetap. Alasan itulah yang membuat pemerintah Hindia Belanda akhirnya menjadikan Salatiga sebagai kota yang terencana dan terkelola dengan baik. Salatiga pun disulap menjadi kota moderen di masanya.
Salatiga dengan Beragam Cagar Budaya
Meski telah empat tahun menetap di Salatiga, saya belum begitu paham seluk beluk kota ini, kecuali beberapa saja.
Saya merasa takjub setiap kali melintas di Kantor Wali Kota Salatiga. Betapa tidak, bangunan peninggalan pemerintah kolonial Belanda itu begitu menarik perhatian. Bukan hanya kerena letaknya yang strategis di pusat kota, melainkan juga model bangunan yang kental dengan arsitektur Belanda.

Selain itu, gedung BCA yang terlihat megah dan mewah di jalan Diponegoro, ternyata dulunya adalah hotel ternama di Salatiga. Banyaknya bangsa kulit putih yang menetap di Salatiga pada tempo dulu, membuat Salatiga mempercantik diri, salah satunya dengan bangunan ini. Ya, Salatiga, pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, menjadi kota moderen yang pernah ada di Jawa Tengah. Wisma BCA, konon katanya, dahulu bernama hotel Pension Van Blommestein.

Melihat megahnya kantor Dinas Wali Kota Salatiga, rasanya belum lengkap jika belum melihat rumah dinasnya. Bangunan cagar budaya yang kini beralih fungsi tersebut, dulunya digunakan sebagai rumah dinas asisten residen Salatiga, lho. Para asisten residen itulah yang bertugas menjalankan roda pemerintahan di Kota Salatiga.

Kalau kita menelusuri sepanjang jalan Jendral Sudirman, maka kita akan menemukan bangunan berusia ratusan tahun yang hingga kini masih menjadi saksi penyebaran agama Kristen di Salatiga. Ya, Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Tamansari yang berada di Jalan Jenderal Sudirman ini terbilang unik dengan gaya arsitektur gothic.

Gedung Pakuwon, Saksi Bisu Perjanjian Salatiga
Berjalan-jalan ke lapangan Pancasila, tepatnya di sisi kiri kantor dinas wali kota Salatiga, kita akan melihat satu bangunan kuno yang (sayangnya) tak lagi terawat. Padahal bangunan tersebut merupakan salah satu cagar budaya paling bersejarah bagi Salatiga.

Namanya gedung Pakuwon. Bangunan ini menjadi saksi lahirnya perjanjian Salatiga antara Raden Mas Said–yang biasa dikenal dengan Pangeran Sambernyowo–, Pakubuwono III, dan pemerintah kolonial Belanda.
Menurut sejarah, saat itu terjadi sengketa perebutan wilayah kekuasaan yang berujung dengan berakhirnya Kesultanan Mataram. Pemerintah kolonial Belanda pun berinisiatif melerai perselisihan tersebut dengan mengajak Raden Mas Said dan Pakubuwono III berunding. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian Salatiga yang dilaksanakan di Gedung Pakuwon. Dalam perjanjian tersebut, disepakati bahwa Pakubuwono III menyerahkan beberapa wilayahnya kepada Pangeran Sambernyawa.
Gedung Pakuwon, Riwayatmu Dulu dan Kini
Selain sebagai saksi bisu perjanjian Salatiga, sejarah mencatat bahwa gedung Pakuwon ini dulunya merupakan tempat tinggal bupati Salatiga di zaman Kerajaan Mataram. Dulu, sebutan bupati tidaklah sepopuler di masa ini, mereka lebih sering disebut dengan akuwu. Sehingga, gedung Pakuwon disebut dengan palereman akuwu (tempat tinggal bupati).
Sayangnya, kondisi fisik bangunan ini tak terawat dengan baik. Alasannya sangat sederhana, yakni keterbatasan biaya perawatan. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa merawat bangunan kuno, tidak semudah yang kita bayangkan, biaya yang tidak sedikit acapkali menjadi penghalang.
Merawat Cagar Budaya, Merawat Peradaban Bangsa
Cagar budaya merupakan hasil peradaban nenek moyang; jejak peninggalannya pun mempunyai nilai filosofis yang kuat pada zamannya. Semakin lama atau semakin tua warisan budaya tersebut, maka semakin tinggi pula nilai sejarahnya.
Bangunan kuno seperti gedung Pakuwon, misalnya, merupakan simbol sejarah peradaban manusia; saksi bisu atas apa yang telah terjadi di masa lalu. Menelantarkannya, tentu saja, seolah membiarkan jejak-jejak tersebut hilang ditelan waktu.
Terlebih, di dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya diamanatkan bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Atas dasar hal itulah, upaya pelestarian cagar budaya sangat diperlukan, tujuannya tentu saja untuk mengidentifikasi, menganalisis, mencatat, merekam, dan melindungi benda-benda bersejarah.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa cagar budaya patut dilestarikan keberadaannya.

1. Setiap situs bersejarah mempunyai kisah penting untuk diceritakan
Situs bersejarah yang saat ini masih kokoh berdiri, menyimpan kisah dan rahasia besarnya sendiri. Kisah-kisah di balik bangunan tersebut-lah yang menguatkan generasi masa kini melawan tekanan dan ketidakadilan.
2. Benda cagar budaya menghubungkan kita dengan kehidupan masa lalu
Situs bersejarah menjadi saksi untuk merekam apa saja yang terjadi di masa lampau. Situs-situs tersebut juga menjadi bukti keberadaan nenek moyang kita.
3. Evolusi kesadaran manusia terus berkelanjutan
Kalau boleh saya analogikan, sejarah merupakan laboratorium yang memberikan gambaran bagaimana struktur sosial masyarakat terbentuk. Memahami sejarah berarti membantu kita memahami bagaimana seharusnya menciptakan masyarakat ideal.
4. Benda cagar budaya mampu menghasilkan devisa
Terbukti bahwa preservasi benda-benda bersejarah bisa menjadi pusat inovasi dan kewirausahaan. Hal ini ditandai dengan meingkatnya jumlah kunjungan wisatawan.
4 Langkah Melestarikan Cagar Budaya, Rawat Atau Musnah!
Merawat cagar budaya memang tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil, kan? Keberhasilannya pun bergantung pada dua komponen, yakni pemerintah dan kita sebagai masyarakat. Pemerintah berperan dalam membuat peraturan, menyiapkan sosialisasi, melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan. Demikian pula dengan masyarakat. Hanya saja, bedanya, kita merawat cagar budaya agar bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Lalu, apa saja sih langkah nyata yang bisa kita lakukan untuk melestarikan cagar budaya?

1. Wisata edukasi bersama keluarga
Kita bisa memulai pelestarian cagar budaya lewat keluarga, lho. Caranya? Saya teringat dengan kedua orang tua saya yang sesekali mengajak saya wisata edukasi ke tempat-tempat bersejarah.
Mulai saja memperkenalkan keluarga kita dengan tempat-tempat bersejarah tersebut, sisipkan bagaimana riwayat situs yang sedang dikunjungi, dan tanamkan bahwa cagar budaya itu merupakan peninggalan nenek moyang yang sangat berharga.
2. Tidak mencorat-coret dan membuang sampah di lokasi cagar budaya
Kelihatannya sepele, tetapi kebiasan mencorat-coret bangunan bersejarah dan membuang sampah sembarangan sepertinya sudah menjadi kebiasaan sebagian orang. Coba deh untuk menahan tangan kita untuk tidak mengotori cagar budaya.
3. Berdonasi
Salah satu hambatan pelestarian cagar budaya, di gedung Pakuwon yang telah saya sebutkan sebelumnya, adalah keterbatasan dana. Memilih berdonasi merupakan bentuk dukungan langsung terhadap pelestarian cagar budaya di Indonesia.
4. Membangun kesadaran pentingnya pelestarian cagar budaya
Kita bisa memanfaatkan teknologi untuk membangun dan menyebarluaskan kesadaran tentang pentingnya pelestarian cagar budaya, yakni dengan mengunggah pranala dan berita-berita cagar budaya di media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.
Sebagai seorang narablog, sumbangsih apa yang bisa kita lakukan untuk melestarikan cagar budaya bangsa? Tentu saja dengan menuliskannya agar semakin banyak orang mengenal dan turut serta.
* Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetesisi Blog Cagar Budaya Indonesia “Rawat atau Musnah” yang diselenggarakan oleh Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis dan didukung Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Info selengkapnya, bisa dibaca di sini.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat.
Barakallahu fiikum.
Referensi:
1. Wikipedia
2. Kemdikbud
3. Sindonews
Photo credit: wikipedia
keren … kapan2 tak mampir ke gedung Pakuwon ah … udah lama nggk ke Salatiga …
Mampirlah 😁
Masyaallah… Seperti baru saja berkeliling kota Salatiga. Meski baru sekali ke sana. Dan rasanya memang ingin kembali lagi.
Semoga mendapat terbaik Mbak Ree… Barokalloh
Aamiin. Wa fiiki barakallah, Non ❤
Suka tulisannya mbak renita, tulisannya informatif sekali 😍🤗. Benar-benar mengajak menjaga cagar budaya bangsa negara kita 🥰🥰🥰🥰😘😘😘🤗🤗🤗🤗
Mamacih, Mbak Rin ❤
Goodluck mba untuk lomba nya. Informatif sekali.
Keren, Umm … Semoga menang, Aamiin
Semoga menang mbak. Aamiin
Keren mbak tulisannya^^ aku jadi speechless. Goodluck untuk lomba nulisnya
Terima kasih, Mbak Risna ❤
Banyak tempat ternyata yang belum aku singgahi di Salatiga
Masya Allah, dikomentari PiJe Non Fiksi 😍😍😍. Aku terhuraaa ❤❤
Super lengkap informasinya
bagus. Rasanya memang marwah Pakuwon itu begitu agung. Ga sabar ingin wisata ke sana.
Keren nih Artikelnya, dengan beberapa point yang disajikan itu, aku suka sekali, mudah-mudahan jadi juara lomba ya. aamiiin
Barakallauu fiik Mbaaa, masya Allah banget tulisannya. Suka aku. Semoga Allah takdirkan bisa menyambangi Salatiga suatu saat nanti.
Aku memiliki beberapa koleksi foto bangunan yang masih asli juga lho mbak, seperti yang kini masih sengketa karena mau dijadikan mall, bangunan2 sekolah dan termasuk juga Tamansari yang dulunya kebun binatang. Salatiga bebernah meski bangunan aslinya sudah banyak yang musnah, yang ada kita jaga yuk..
wah lengkap banget tulisannya jd pengen jalan-jalan kesana 🙂
salam kenal 🙂
Wew .. gedung BCA ini sangat kuhapal setiap jengkalnya .hahahahha..
Kerja di BCA Salatiga po, Mas? 😁
Nggak mba, cuma dulu setiap bulan ke sini 3-4 kali. Hahahahaha.